Kolom

Kejujuran serta Model “Critical Thinking” Syekh Abdul Qâdir al-Jailânî

Dodo Widarda * – Kejujuran itu nilai serta prilaku sangat utama dalam agama. Karena kejujurannya, Rasul sedari muda mendapat julukan al-Amin (dapat dipercaya). Dengan modal kepercayaan itu, hati manusia tergerak untuk mengimani risalah yang dibawanya, karena yakin Islam disampaikan bukan oleh seorang pendusta. Sang pembawa risalah itu adalah seseorang yang selalu benar dari sisi itikad, ucapan, serta perbuatannya. Tertutup kemungkinan orang untuk menyangkal keutamaan dari sifat Rasul ini. Yang menyangkalnya hanya orang yang keras hati, serta memang tidak mempercayainya.

Estafeta keteladanan sifat jujur itu ada pada banyak ulama sebagai pewarisnya. Salah satunya adalah Syekh Abdul Qadir al-Jaîlanî. Syekh Abdul Qadir (1079–1175 M) tidak hanya mewarisi keotentikan genetik sebagai dzuriat Rasul baik dari nasab ayah maupun ibu, tapi juga mewarisi ketinggian ilmu, keluhuran akhlak serta kedalaman sir dari leluhurnya, Baginda Nabi. Di dalam buku “Tanbih, Tawasul, Manaqib Bahasa Indonesia” yang disunting Dwi Puspa W serta Saeful Rahman (1998:15-17) Syekh Abdul Qâdir ditanya seorang ikhwan,”Apakah pedoman dalam pandangan hidup beramal?”
“Bagiku wajib benar, pantang untuk berdusta.”

Sedari usia muda Syekh sendiri memberi contoh tentang kejujuran, serta telah menjadi magnit yang kuat yang membuat para begal, kemudian insyaf, menangis, serta kemudian dibawanya pada ajaran ajaran agama yang hak. Kejujuran itu adalah karamah Syekh Abdul Qâdir, serta merupakan amanat dari ibundanya pada saat beliau pergi dari wilayah Laut Kaspia di Jailan Iran, menuju ke kota pusat peradaban saat itu, Baghdad untuk menimba ilmu. Ketika dalam perjalanan seorang begal bertanya tentang apa yang dia punyai, maka Syekh manjawab bahwa beliau memiliki 40 keping dinar yang dijahit di dalam bajunya. Kepala perampok menyuruh anak buahnya untuk mengiris jahitan baju Syekh, dan ketika tersayat, keluarlah 40 dinar yang membuat hati penyamun itu menjadi takjub, serta bertanya, apa sebabnya dia berkata sebenarnya? Dijawab oleh Syekh Abdul Qâdir dengan tenang, bahwa beliau berjanji pada ibunya, tak akan berkata bohong pada siapapun dan dalam keadaan bagaimanapun juga, ditambahkannya jika ia bohong, tidak akan bermakna upayanya dalam menimba ilmu agama.

Kekuatan mental untuk jujur dan tidak berani melanggar janji terhadap ibunya yang telah mengikat hati kepala perampok itu menjadi murid pertamanya, serta teman-teman begal yang lainnya mengikuti pimpinannya. Cermin akhlak Syekh Abdul Qâdir adalah akhlak Rasul.

Karena ‘kejujuran’ dari Rasûlullah, risalah yang dibawanya tetap berdiri ajeg sampai sekarang. Karena kejujuran para mursyidnya, berbagai tarekat yang mengajarkan sifat ‘ihsân’ ketika seseorang sudah sampai pada perasaan diawasi oleh Allah baik dzahir maupun batin, bisa berkembang sampai pada akhir zaman ini. Termasuk Tarekat Qadiriyah yang dinisbatkan kepada Syekh Abdul Qâdir sebagai pendirinya dengan berbagai variasi nama yang berkembang di seluruh dunia.

Intinya: jujur itulah yang membuat agama, dan juga tokoh-tokohnya dipercaya oleh umat. Kalau ada hal menyimpang dari sifat dasar itu, maka umatpun akan meninggalkannya. Tentu saja bagi umat yang tetap menjaga akal budi dengan sikap hidup rasional, serta tidak dinina-bobokan oleh doktrin yang menyeleweng dari dua acuan pokok: Alquran dan Sunnah Nabi.

Terkait dengan menjaga ajegnya rasionalitas tanpa terjebak tipu daya setan, ada sebuah contoh model ‘critical thinking’ (‘berpikir kritis’) dari Syekh Abdul Qâdir. Yang dimaksud dengan critical thinking sebagaimana terdapat dalam “Cambridge Dictionary” sebagai “the process of thinking carefully about a subject or idea, without allowing feelings or opinions to affect you.” (“proses memikirkan secara hati-hati mengenai suatu obyek atau ide, tanpa membiarkan perasaan atau opini mempengaruhi anda”).

Syekh Abdul Qâdir yang terkenal lembut hati, kuat mukasyafah, serta pada saat bersamaan memiliki prinsip sangat keras ketika menyampaikan kebenaran, adalah seseorang yang bisa menjaga ajegnya rasionalitas, berpikir dengan hati-hati dan waspada, serta tidak terbawa luapan subyektivitas ketika sebuah informasi sampai padanya, serta pada saat bersamaan bisa menghancurkan integritas pribadinya.

Ketika setan mengaku sebagai Jibril serta membawa imajinasi Buraq yang menjemputnya menghadap Allah di langit tertinggi, rasionalitas serta model ‘berpikir kritis’ Syekh bekerja serta mengambil sebuah kesimpulan bahwa itu adalah setan karena Malaikat Jibril serta Buraq hanya datang pada Nabi Muhammad Saw. Ketika berada di rimba raya, setan menggodanya lagi,”Akulah Tuhanmu, kini kuhalalkan bagimu segala yang haram.” Syekh berkata,”Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” Ketika Syekh ditanya seorang muridnya terkait dari mana ia tahu bahwa itu adalah setan, kembali Syekh melakukan pertimbangan rasional serta analisa kritis bahwa “pernyataan yang menghalalkan segala yang haram, yang membuatnya tahu” (Dwi Puspa W serta Saeful Rahman, 1998:50), karena menurut Syekh “pernyataan semacam itu tentu bukan dari Allah”. Persisnya, pernyataan itu dari setan.

Kesimpulan dari tulisan ini, kejujuran Syekh Abdul Qâdir adalah teladan bagi kita semua. Ketika mengikuti mata rantai silsilah madzhab tasawufnya, umat tidak akan mengingkarinya karena yakin akan kejujuran pelanjut risalah nabi ini. Sementara model critical thinking Syekh mengajarkan kepada kita untuk waspada dan hati-hati serta tetap menjaga ‘rasionalias’ berpikir di tengah merebaknya berbagai manipulasi serta serta kebohongan dalam berbagai level kehidupan kita, termasuk sosial keagamaan.

[] Penulis adalah ustadz kampung. Pemimpin Jamaah Manaqib Syekh Abdul Qâdir al-Jailânî di Cipancar Sumedang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button