Memaknai Kembali Hari Santri Nasional
Oleh : H. Muhamad Jaenudin, S.Ag.M.H. (Ketua LTN-NU PC. Kuningan)
Tak lama setelah merdeka, Indonesia kembali mendapat teror Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia denganmemboncengsekutu. Usai mendapat ancaman itu, Presiden Soekarno sowan kepada KH Hasyim Asy’ari untuk meminta nasihat dan pandanganbeliau bagaimana hukumnya umat Islam menghadapi ancaman tersebut. Menanggapi hal itulah KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Fatwa Jihad yang berisikan pendirian bahwa perjuangan membela tanah air adalah jihad fi sabilillah.
Fatwa Jihad ini kemudian dikenal sebagai Resolusi Jihad yang telah terbukti mampu membangkitkan ruhul jihad para santri dan ulama saat itu. Api semangat juang para Tentara Nasional dan rakyat Indonesia pun kian berkobar karena dukungan penuh santri dan ulama. Semua bersatu padu melawan Belanda.
Maka tak lama kemudian, pecahlah perang 10 November 1945. Rakyat Indonesia khususnya Surabaya dipimpin TNI, ulama serta santri melawan dan menolak keras kedatangan Sekutu (Belanda) yang datang ingin kembali menjajah bumi Indonesia. Karenanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa resolusi jihad yang dicetuskan oleh Pendiri Nahdlotul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari adalah pemantik pecahnya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang selanjutnya diperingati sebagai Hari Pahlawan.Maka moment Resolusi Jihad begitu penting untuk dikenang. Dan karena terjadi pada tanggal 22 Oktober, maka tanggal itu ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional.
Begitu besar daya pantik Resolusi ini. Ia seperti mampu menghipnotis dan menggerakkan pejuang nusantara saat itu untuk melawan Belanda, walaupun untuk melawan Belanda taruhannya adalah nyawa. Kenapa bisa demikian?.Karena setelah diteliti fatwa Resolusi ini berisi tiga poin untuk menggelorakan jihad. Tiga poin itu adalah, pertama, Hukum memerangi orang kafir (Belanda) yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu ain bagi tiap-tiap orang Islam yang memungkinkan. Kedua, Hukum orang yang meninggal dalam peperangan melawan musuh (NICA) serta komplotan-komplotan nya adalah mati syahid. Ketiga, Hukum untuk orang yang memecah persatuan kita sekarang ini, wajib dibunuh.
Jihad, kata itulah yang mampu menggerakkan orang beriman. Dalam Kitab al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfadh al-Qur’an, bahwa kata jihad dan derivasinya di dalam al Qur’an disebutkan sebanyak 41 kali dan terbagi dalam 19 surat. Dalam memahami makna jihad dalam al-Qur’an, setidaknya ada empat pesan yang disampaikan al-Qur’an dengan menggunakan redaksi jihad dan derivasinya, yaitu jihad berarti perang, berargumentasi (hujjah), infak di jalan Allah dan bersungguh-sungguh menolong dan menjalankan perintah agama (Abu Nizhan, 2011: 546).
Perintah jihad dengan berperang, dimulai pada abad ke-dua hijriyah tepatnya ketika akan terjadinya perang Badar. Kala itu Rasulullah SAW menyerukan kepada para sahabatnya untuk berjihad dengan berperang melawan orang kafir. Perintah perang tersebut pada dasarnya bukan bertujuan untuk menghilangkan kekafiran, akan tetapi perang untuk mempertahankan negara baru dan melindunginya, serta melindungi kebebasan dakwah (Ahmad al-Tayyeb dkk, 2016: 155).
Perintah jihad ini yang menemukan konteksnya pada saat resolusi itu digaungkan. Perintah Rasul SAW untuk berjihad mempertahankan Negara dan melindunginya dari musuh yang menyerang duluan kepada tanah air adalah sama persis dengan resolusi Sang Kyai yang menyuarakan wajib ‘ain hukumnya bagi bangsa Indonesia yang diserang oleh Penjajah Belanda untuk berjihad membela tanah air . Ini seperti selogan Orang betawi, “Kita tidak pernah cari musuh, tapi kalo Lu jual duluan, ya Gua beli !”. Musuh jangan dicari, tapi kalau ketemu pantang berlari!.
Dari tinjauan histiris ini, maka kita wajib mengenang peristiwa Resolusi Jihad karena memiliki nilai penting dalam tonggak sejarah Bangsa. Resolusi Jihad yang menggelorakan setiap muslim Indonesia untuk membela Tanah Air dan mempertahankan NKRI amatlah penting untuk diimplementasikan dalam kehidupan. Nilai-nilai nasionalisme ini yang harus terus diwariskan hingga sekarang, bahkan sampai kapan pun. Semangat untuk mencintai tanah air. Hubbul wathon minaliman.
Maka atas usulan berbagai kalangan, Presiden Jokowi telah mengeluarkan Keppres Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri. Keppres ini intinya menggambarkan bahwa ulama dan santri pondok pesantren memiliki peran penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mengisi kemerdekaan.
HSN selain sebagai upaya mengungkapkan fakta sejarah masa lalu, juga sebagai symbol idealism kaum Nahdliyin. Ia tidak hanya sekedar menjadi fakta sejarah, namun lebih dari itu adalah sebuah identitas kebanggaan. Bahwa kiprah dan sumbangsih KH. HasyimAsy’ari (baca: NU) di negeri ini tidak boleh diremehkan. NU sebagai salah satu yang membidani terlahirnya Negara bernama NKRI dari Rahim ibu pertiwi. NU dan NKRI adalah duahal yang tidak bisa dipisahkan. NKRI adalah sebuah warisan para leluhur yang harus terus di rawat sampai kapan pun.
Maka dalam syair Mars hari Santri dikatakan ,Hari santri hari santri hari santri. Hari santri bukti bakti pada Negeri. Ridho dan rahmat dari Ilahi. NKRI harga mati. Ayo santri ayo santri ayo santri. Ayo ngaji dan patuh pada Kyai. Jayalah Bangsa, jaya Negara. Jayalah pesantren kita. Bait-bait itu sejatinya ingin menggambarkan karena para santri dan kyai yang membidani Negara ini maka jayanya pesantren adalah jayanya Negara ini.
Lebih jauh lagi adalah bahwa jika “Jamiyyah” dan kelompok lain banyak menyuarakan ukhuwwah Islamiyah, maka NU tidak hanya itu, melainkan lebih menitik berat kan ukhuwwah wathoniyah. Dan NKRI serta Pancasila adalah sudah final sebagai “jalan tengah” yang bisa menaungi Bangsa yang majemuk ini. Jika ada upaya golongan tertentu yang ingin mengubah NKRI menjadi negara Islam, dengan bentuk khilafah dan sebagainya, maka “akan berhadapan” dengan NU.
Cinta tanah air memang tidak diragukan lagi diajarkan dalam Islam. Bahkan secara naluri dianggap wajar. Orang Inggris mengatakan “Right or wrong is my country”, Orang Islam membahasakan nya “Hubbulwathon minal iman”, cinta tanah air adalah bagian dari iman. SaatNabi SAW hendak hijrah ke Madinah dan hendak meninggalkan Mekkah sebagai tempat kelahirannya akibat dahsyatnya siksaan Kafir Quraisy, Beliau sedih. Sambil berbalik badan Baginda berkata, “Wahai Mekkah Aku sangat mencintaimu karena engkau tanah kelahiranku, andai saja pendudukmu tidak kejam, aku tak akan pernah meninggalkan mu.
Model beragama yang “cinta tanah air” ini akan bersikap ramah dan akomodatif terhadap nilai-nilai kearifan lokal nasional. Sikap beragama yang moderat dan tawassut, yang tidak gampang menuduh orang lain sesat dan kafir. Mengeluarkan fatwa-fatwa yang adem dan bersifat rahmatan lilalamiin. Sejarah kemudian telah membuktikan bahwa sikap beragama seperti ini yang mempu membangkitkan rasa simpatik di kalangan kawan maupun lawan, sekaligus telah menghapus stereotif tentang Islam di mata dunia, khususnya Barat bahwa Islam adalah agama pembawa terror.
Sebaliknya sikap beragama yang keras dengan gampang menghakimi orang, bahwa faham orang lain bidah, sesat, dan kafir sehingga harus dilenyapkan. Tentu saja faham model ini akan menimbulkan keresahan di kalangan umat. Yang paling memprihatinkan faham keagamaan yang menyimpang ini telah meraksuk ke beberapa model pesantren di masak ini. Beberapa waktu lalu beredar berita pesantren yang terpaksa harus ditutup karena sang “Kyai” terbukti mencabuli para santriwati. Ada jug pesantren yang banyak mendoktrin santrinya untuk menyebar terror kepada non-muslim sehingga kalangan ini dicap sebagai kelompok teroris. Dan yang masih hangat dalam ingatan adalah kasus Pesantren az-Zaitun dengan Pimpinanya, “Kyai” Panji Gumilang telah terbukti melakukan penistaan agama.
Maka melalui Hari Santri sekarang ini, para Kyai dan santri ingin menggemakan gerakan kembali ke “khitoh” pesantren seperti ideology awal. Ideologi yang dikumandangkan dalam resolusi jihad. WaAllahua’lambissawwab. Selamat Hari Santri Nasional 2024 “Menyambung Juang, Merengkuh Masa Depan”