NUPedia

Barak Rasa Pesantren: Gagasan Transformasi Anak Bermasalah

Oleh: Dr. KH Aminuddin S.HI, MA (Ketua PCNU Kabupaten Kuningan)

Gagasan Gubernur Jawa Barat terpilih, Kang Dedi, untuk mengirim anak-anak bermasalah ke
barak militer merupakan terobosan yang menarik dan menggugah diskusi publik. Di tengah
realitas sosial yang menunjukkan semakin tingginya angka kenakalan remaja—dari
perundungan, tawuran, penyalahgunaan narkoba, hingga pergaulan bebas—langkah tegas dan
terukur memang sangat dibutuhkan.
Namun, sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama (NU) yang selama ini dekat dengan pendidikan
karakter dan akhlak melalui pesantren, saya memandang bahwa pembinaan anak-anak
bermasalah tidak bisa hanya diselesaikan dengan pendekatan militeristik semata. Ketegasan
dan disiplin memang penting, tetapi ada satu aspek yang sering terlupakan: pembinaan ruhani
dan akhlak.
Maka dari itu, saya mengusulkan satu gagasan integratif: “Barak Rasa Pesantren”—sebuah
model pembinaan yang memadukan kedisiplinan ala militer dengan kekuatan spiritual dan
pembentukan akhlak khas pesantren.
Kedisiplinan Fisik, Ketundukan Batin
Barak militer dikenal efektif dalam membentuk kedisiplinan, ketangguhan, dan keteraturan.
Namun perlu kita sadari, bahwa banyak anak bermasalah bukan hanya karena lemah fisik atau
tidak teratur hidupnya, melainkan karena kehilangan arah hidup, rapuhnya ketahanan moral,
dan kosongnya jiwa.
Di sinilah pesantren memberi kontribusi besar. Pesantren tidak hanya mendidik ilmu agama,
tapi juga menanamkan nilai-nilai kesabaran, ketekunan, tanggung jawab, sopan santun, dan
ketundukan kepada Tuhan. Di pesantren, santri diajari bangun sebelum fajar, shalat berjamaah
lima waktu, hidup hemat, berbagi dengan sesama, dan patuh kepada guru. Inilah modal
pembentukan karakter yang tidak bisa digantikan oleh metode sekuler semata.
Dari Anak Nakal Menjadi Pemuda Tangguh
Dalam konsep “Barak Rasa Pesantren”, anak-anak yang dianggap nakal tetap dididik dalam
sistem barak: bangun subuh, apel pagi, latihan fisik, baris-berbaris, dan kegiatan kedisiplinan
lainnya. Tapi di sela-selanya, mereka juga ikut shalat berjamaah, belajar mengaji, mendalami
akidah dan akhlak, berdzikir, dan mengikuti pembinaan ruhani.
Pelatih barak bukan hanya dari unsur militer, tapi didampingi para ustadz, asatidz, atau kyai
yang memiliki pengalaman dalam pendidikan moral dan spiritual. Dengan kombinasi ini,
pembinaan yang dilakukan bukan sekadar mencetak anak-anak yang patuh karena takut,
melainkan pribadi yang sadar, taat karena cinta, dan berubah karena menemukan kembali jati
dirinya.
Anak-anak ini tidak disudutkan, tidak dihakimi, tetapi dipulihkan. Barak bukan tempat
hukuman, tapi tempat transformasi. Sebuah kawah candradimuka untuk menempa ulang
generasi muda dengan pendekatan yang menyentuh jasad dan jiwa sekaligus.
Kontribusi NU dan Harapan untuk Jawa Barat
Sebagai organisasi kemasyarakatan keagamaan terbesar, NU memiliki jejaring pesantren,
majelis ta’lim, dan para pendidik yang siap ambil bagian dalam program ini. PWNU Jawa Barat,
dengan jaringan kultural yang luas dan kapasitas kelembagaan yang kuat, dapat memainkan
peran strategis dalam membentuk kurikulum ruhani, menyusun standar pembinaan keagamaan,
serta merekomendasikan para pendamping spiritual yang moderat dan kompeten.
Kami berharap, inisiatif ini tidak hanya menjadi respons sesaat atas keresahan sosial, tetapi
dikembangkan menjadi model kebijakan yang sistematis, terukur, dan berbasis nilai-nilai luhur
bangsa. Jika dilaksanakan dengan benar, “Barak Rasa Pesantren” dapat menjadi solusi
kultural, spiritual, dan struktural yang membawa dampak jangka panjang bagi generasi muda
Jawa Barat, bahkan Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button