Opini

Urgensi Moderasi Beragama Dalam Kurikulum Pendidikan Kita

Oleh : LOMRAH, S.Pd. (Guru Kelas MIS Nurul Huda Gempol Kuningan)

Dalam diskursus Sejarah Pemikiran Islam, dikenal kalangan yang berhaluan keras dari masa ke masa muncul dalam bentuk dan konteks yang berbeda-beda. Zaman perjuangan kemerdekaan dulu sejarah telah mencatat pemberontakan Daarul Islam (DI), Pemberontakan Kartosuwiryo, Daub Beuruh di Aceh. Seolah mewarisi ajaran DI, setelah kemerdekaan dulu kita mengenal adanya gerakan Islam “bawah tanah” Negara Islam Indonesia (NII), PII dan lain-lain. Belakangan kita mendengar ada Jamaah Islamiah (JI), Al-Qiyadah Islamiyah, kelompok radikal Bom Bali, Dr. Azhari, Imam Samudra dkk yang sejatinya telah memilih “dakwah” dengan kekerasan. Sementara yang tidak kalah radikal juga kelompok ISIS (Islamic State in Irak and Syiria). Hingga pantas Pemerintah telah tegas menolak kepulangan 600 WNI eks ISIS ke Indonesia.
Yang menarik jika direnungkan lebih dalam bahwa ada trend dari pola perekrutan anggota gerakan Islam Radikal belakangan ini sasarannya adalah anak muda. Riset yang dilakukan Maarif Institute (2011), Setara Institute (2015), dan Wahid Foundation (2016) menunjukkan bahwa kelompok-kelompok radikal telah secara masif melakukan penetrasi pandangan radikal di kalangan generasi muda melalui institusi pendidikan.
Riset di atas seolah diperkuat oleh beberapa bukti di lapangan bahwa pelaku dari beberapa penyerangan dan terror seperti di Polsek Wonokromo, sebuah kasus penyerangan membabi buta tanggal 17 Agustus 2019, setelah diinterogasi, pelakunya adalah anak muda yang gagal faham terhadap makna jihad karena banyak dipengaruhi pemberitaan yang ia peroleh lewat internet. Ini terjadi karena secara pemahaman kalangan muda masih polos dan belum punya dasar keberagamaan yang kuat sehingga dapat dengan mudah dirasuki doktrin. Pada sisi lain, secara psikologi emosi anak muda yang belum stabil dapat dengan mudah disulut api semangat jihadnya.
Untuk itu, upaya pembentengan kaum muda dari bahaya faham radikal menjadi sangatlah penting. Dan kalangan muda yang cukup rentan adalah para pelajar tingkat SMA/SMK dan mahasiswa. Ini terjadi karena dalam pandangan para ahli psikologi usia SMA/SMK dan mahasiswa muda masuk pada masa dewasa awal. Menurut seorang ahli psikologi perkembangan, Santrock (1999), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition), transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role trantition). Sisi kerawanan usia SMA/SMK dan mahasiswa secara psikologi ini, di masa sekarang kian diperparah dengan pengaruh ektrinsik dari luar dirinya yang datang melalui akses internet dan handphone.
Pembentengan faham radikal juga sebaiknya dilakukan sejak dini di pendidikan dasar dan menengah. Sebab pendidikan dasar ini menjadi pondasi bagi seseorang sebelum ke jenjang atas dan perguruan tinggi. Jika di jenjang dasar ini peserta didik sudah mendapatkan penguatan pemahaman keagamaan yang moderat, maka saat tumbuh dewasa di jenjang yang lebih tinggi ketika menerima ajakan faham radikal maka besar kemungkinan akan menolaknya.
Vella Nayif Bajila dalam blognya menulis, Organisasi yang sifatnya Radikal ini banyak memiliki kader dan relawan, terutama dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Mereka melakukan berbagai pendekatan baik secara emosional maupun keilmuan. Pelajar dan Mahasiswa yang tergolong individu terdidik, cerdas dan penuh obsesi kebaruan, lebih banyak mempunyai kesempatan untuk melakukan browsing dan selalu ingin mencoba apa saja yang dianggapnya cocok dengan nurani dan intelektualitasnya. Termasuk ingin mengetahui lebih banyak tentang pemahaman keagamaan dan kepercayaan yang selama ini diyakininya.
Sebagai contoh, ajaran tentang jalan menuju kepada keabadian (sorga) dan menghindari kesengsaraan yang abadi (di neraka) yang disalahfahamkan selalu menarik perhatian kalangan mahasiswa. Dengan metoda rasionalisasi, seperti ungkapan “Hidup di dunia hanya sekedar mampir sebentar” dan “bahwa kehidupan dan kebahagiaan yang abadi adalah sorga.” Harta benda, derajat, pangkat dan pemilikan dunia lainnya hanyalah sekedar titipan yang tidak akan pernah di bawa mati.” Maka berjihad selama di dunia di jalan Allah akan menerima imbalan yang setimpal yaitu sorga abadi.
Di sisi lain ada beberapa nash al-Quran yang sering melegitimasi mereka. Salah satunya al-Quran Surat al-Maidah :44, “Dan barang siapa yang tidak menegakkan hukum dengan yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang –orang kafir”. Ayat ini jika dipahami secara liar akan melahirkan pemahaman keliru dan membahayakan. Negara Indonesia, karena dasar negaranya Pancasila dan bukan Al-Quran maka dihasilkan kesimpulan yang keliru bahwa Pemerintah dan semua aparatur nya dari pusat sampai daerah, terlebih lagi adalah aparat Kepolisisan dan TNI adalah thogut. Thogut secara akar kata bermakna melampaui batas (dholim). Bahkan dalam perkembangannya makna kata thogut adalah sejenis sesembahan selain Allah (Syirik). Jika orang yang berbuat thogut ini dimaknai musyrik, maka ia digolongkan kafir karenanya dianggap najis dan boleh dibunuh karena halal darahnya. (Lihat Qs. At-Taubah:28 ). Bahkan lebih dari itu berperang dengan mereka adalah sebuah jihad di jalan Allah yang jika terbunuh pun maka mati syahid.
Selama ini mungkin kita senantiasa fokus pada pola pergaulan remaja yang bersifat negatif seperti merokok, minuman keras, nongkrong di pinggir jalan dan mengkonsumsi narkoba. Namun jangan lupa orang tua juga harus mewaspadai remaja yang berperilaku baik, sopan dan sholeh bahkan rajin menuntut ilmu namun jika kelompok sebaya mereka cenderung tertutup (exclusive group) maka patut diwaspadai, mengingat faham keagamaan radikal bisa dengan mudah memasukkan doktrin mereka kepada kelompok remaja ini.
Karenanya kelompok kajian keagamaan remaja termasuk didalamnya rohis juga harus terus mendapat bimbingan dan pengawasan. Peran seorang guru pembimbing dan kurikulum serta materi pembelajarannya pun harus bersifat Islam yang inklusif dan jauh dari radikalisme serta pemutar-balikkan tafsir al-Quran yang dilakukan secara liar.
Namun sering terjadi miskonsepsi dalam moderasi beragama ini. Moderasi beragama masih dipahami dengan salah oleh beberapa kalangan, terutama kalangan fundamentalisme Islam sebagai “moderasi ajaran agama” yang mencampur-adukkan ajaran agama yang satu dengan agama lainnya. Maka moderasi beragama menurut mereka menyesatkan karena mengajarkan bahwa semua agama itu benar. Dan ini akan menyebabkan pendangkalan keimanan seseorang.
Anggapan semacam itu adalah keliru sebab moderasi beragama bukanlah kompromi terhadap ajaran agama, melainkan cara bijaksana dalam mengamalkan ajaran agama secara relevan di tengah keberagaman/kemajemukan masyarakat. Cara beragama yang toleran dan moderat terhadap orang lain yang berbeda pemahaman. Cara inilah yang akan membawa kedamaian dan menghindari konflik serta pertikaian. Beragama seperti inilah yang akan bisa menjaga dan merawat keutuhan Negara Indonesia kita yang majemuk dan berbineka.
Moderasi adalah jalan tengah. Kalau dalam dalam diskusi kita mengenal ada moderator artinya penengah. Maka moderasi beragama berarti cara beragama “jalan tengah” (wasathiyah) tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran agamanya. Orang yang mempraktekkannya disebut moderat. Maka sekali lagi, betapa pentingnya materi moderasi beragama dalam kurikulum pendidikan kita. WaAllahu a’lam bissawwab

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button