Di tengah krisis ekologis global dan kerusakan lingkungan yang makin masif, dunia membutuhkan pemimpin yang tidak hanya pandai mengatur, tetapi mampu menginspirasi umat manusia untuk kembali hidup selaras dengan alam. Dalam konteks Indonesia, khususnya Jawa Barat, sosok Kang Dedi Mulyadi (KDM) hadir sebagai figur langka: seorang pemimpin yang menjadikan nilai-nilai spiritualitas dan kebudayaan sebagai fondasi ekologis dalam kepemimpinannya.
Dalam ajaran Islam, alam bukan sekadar latar kehidupan, tetapi bagian dari ayat-ayat Tuhan yang wajib dibaca dan direnungi. Iqra’, perintah wahyu pertama, tidak hanya mengarah pada teks, tetapi juga pada semesta. Allah berfirman dalam QS. Ar-Rum ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah tangan manusia…”. Maka membaca alam, atau tilawah alam, adalah bagian dari ibadah; dan menjaganya adalah amanah spiritual.
Di sinilah relevansi kepemimpinan ekologis KDM menemukan konteksnya. Sejak menjadi Bupati Purwakarta hingga kini menjabat Gubernur Jawa Barat, ia konsisten menunjukkan komitmen terhadap pelestarian alam, pemulihan ekosistem, dan penghormatan terhadap kearifan lokal. Ia bukan hanya bicara tentang lingkungan, tetapi hidup bersamanya. Ia hadir di tengah rakyat, menanam pohon, membersihkan sungai, merawat kampung, dan menghidupkan kembali budaya agraris yang arif dan lestari.
Lebih dari itu, KDM menjadikan pendekatan budaya sebagai jalan dakwah ekologis. Ia mengemas pesan-pesan pelestarian lingkungan melalui simbol-simbol budaya Sunda yang kental: leuweung (hutan), cai (air), taneuh (tanah), sareng rahayat (rakyat). Ia menjadikan kebijakan tidak hanya berbasis data, tetapi juga berbasis rasa, nilai, dan identitas lokal. Itulah kekuatan dari pendekatan yang tidak sekadar teknokratis, tetapi spiritual-kultural.
Dalam banyak kesempatan, ia menyatakan bahwa manusia tak boleh hidup dengan memusuhi alam. Baginya, pembangunan yang ideal bukanlah yang membabat gunung dan menambang sumber daya secara brutal, melainkan yang menyeimbangkan antara kebutuhan manusia dan hak-hak alam. KDM menghidupkan kembali narasi bahwa bumi bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu.
Gaya hidupnya yang bersahaja, kepekaannya terhadap penderitaan rakyat kecil, dan kepeduliannya pada alam menjadikan KDM bukan sekadar pemimpin administratif, tetapi juga guru kehidupan. Ia mengingatkan publik bahwa pemimpin seharusnya menjadi teladan dalam kesederhanaan dan keadilan ekologis.
Dalam lanskap politik Indonesia yang sering terjebak pada narasi kekuasaan dan ekonomi jangka pendek, kepemimpinan KDM menghadirkan alternatif: bahwa kemajuan bisa lahir dari keharmonisan dengan alam, bahwa pembangunan bisa diselaraskan dengan spiritualitas dan budaya, dan bahwa tilawah terhadap alam sama pentingnya dengan tilawah terhadap kitab suci.
Kini, saat ia memegang amanah memimpin Jawa Barat, harapan publik tumbuh. Bahwa provinsi yang kaya akan keanekaragaman hayati dan budaya ini akan dibawa menuju masa depan yang lestari, manusiawi, dan bermartabat. Masa depan di mana rakyat tidak hanya sejahtera secara materi, tetapi juga tenteram secara spiritual dan ekologis.
Kang Dedi Mulyadi, dengan segala konsistensinya, telah menunjukkan bahwa politik tidak harus kotor, pembangunan tidak harus merusak, dan kekuasaan bisa menjadi jalan ibadah—bila dijalankan dengan cinta kepada Tuhan, manusia, dan alam semesta.