Polemik Nasab Sesama Orang Arab di Indonesia Kurun 1910-1930
Polemik seputar nasab Ba’alawy di Indonesia masih belum mereda. Sebagian orang mungkin mengira bahwa persoalan habib dan sayid mengemuka belakangan ini. Padahal jika kita merunut sejarah, masalah yang hampir sama sebenarnya pernah terjadi di Hindia Belanda antara tahun 1910-an hingga tahun 1930-an.
Riwayatnya bermula, ketika pada 17 Juli 1905, di Batavia berdiri organisasi Al Jam’iyat Al-Khairiyah, yang lebih dikenal Jamiatul Khair. Organisasi ini dibentuk untuk mewadahi orang Arab atau keturunan Arab yang ada di Hindia Belanda. Di antara tokoh populernya bernama Ahmad Surkati (1875-1943). Ia merupakan seorang ulama asal Sudan, yang baru bergabung ke Jamiatul Khair pada Oktober tahun 1911.
Belum lama bergabung, keberadaan Ahmad Surkati menimbulkan friksi di internal Jamiatul Khair. Sebagai seorang cendekiawan muslim yang terpengaruh oleh gagasan reformis Muhammad Abduh (1849-1905), ia memiliki ide-ide tentang kesetaraan umat Islam. Dalam sebuah pertemuan anggota Jamiatul Khair di Solo tahun 1913, Ahmad Surkati berfatwa bahwa Islam memperjuangkan persamaan dan tidak mengakui kedudukan yang mendiskriminasikan berbagai kalangan, hanya karena darah keturunan, harta, atau pangkat (Deliar Noer. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. 1991: 87).
Fatwa ini rupanya ditentang oleh orang-orang Arab dari kalangan sayid. Ide-ide Ahmad Surkati dianggap dapat menjadi ancaman bagi mereka kaum Alawiyin yang kedudukannya lebih tinggi dibanding golongan lain dalam masyarakat Islam di Hindia Belanda, khususnya di Pulau Jawa.
Penting diketahui, pada masa Hindia Belanda, berdasarkan Undang-Undang tahun 1854, pemerintah kolonial membagi masyarakat menjadi tiga kelas secara hierarkis dan diskriminatif; Orang Eropa (Europeanen), Orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), dan pribumi (Inlander). Dalam hierarki ini, orang-orang Arab termasuk kategori Timur Asing, yang kemudian dipetakan lagi antara orang-orang Arab Sayid dan orang-orang Arab non-Sayid. Ahmad Surkati salah satu dari yang non-Sayid atau bukan Baalawy.
Atas apa yang diperjuangkannya, Ahmad Surkati kemudian dikucilkan di Jamiatul Khair. Hingga akhirnya, pada 6 September 1914, ia mendirikan organisasi baru bernama Jam’iyat al Islam wal Irsyad al ‘Arabia disingkat Al-Irsyad, yang baru satu tahun kemudian (11 Agustus 1915) mendapat legalitas dari pemerintah.
Adapun dalam hal keanggotaan, Al Irsyad lebih inklusif. Baik Arab maupun non-Arab, termasuk orang pribumi, boleh bergabung di dalamnya. Kecuali, kelompok Sayid, tidak diterima di organisasi ini. Bahkan dalam AD/ART Al Irsyad tahun 1915 dituliskan bahwa seorang Sayid tidak boleh menjadi pengurus.
Dari sini, perselisihan semakin memanas. Dalam banyak literatur sering disebut “konflik Alawi-Irsyadi”. Yaitu antara para Sayid (yang mayoritas berafiliasi pada Jamiatul Khair dan Rabithah Alawiyah) dengan non-Sayid (yang sebagian besar berafiliasi pada Al-Irsyad). Banyak hal yang mereka pertentangkan. Persoalan taqbil, misalnya. Taqbil adalah tradisi yang berisi keharusan bagi non-Sayid untuk mencium tangan para Sayid.
Al Irsyad menuntut ini dihapuskan, sedangkan Jamiatul Khair keukeuh ingin mempertahankan. Termasuk soal pernikahan. Jamiatul Khair melarang pernikahan seorang Syarifah dengan orang non-Sayid. Sedangkan Ahmad Surkati, dalam Fatwa Solo 1913 membolehkan pernikahan seorang perempuan keturunan Sayid, dengan non-sayid (Taufik Abdullah, dkk. Muncul dan Berkembangnya Faham-Faham Keagamaan Islam di Indonesia, 2008: 71).
Ada pula persoalan gelar. Jamiatul Khair menuntut bahwa gelar “Sayid”, “Syarif”, atau “Habib” adalah gelar keistimewaan yang sakral dan bagian dari syariat Islam, serta hanya mereka lah yang berhak menyandangnya. Sementara Al Irsyad mempunyai pandangan bahwa kata “Sayid” dan sejenisnya hanyalah panggilan biasa, sama dengan kata “Mister” dalam bahasa Inggris, “Meneer” dalam bahasa Belanda, atau “Monsieur” dalam Perancis (Huub de Jonge, Socio-cultural Essays. 2000: 153)
Lebih ekstrem dari itu, Al Irsyad juga berpendapat bahwa semua keturunan Hassan dan Hussain tidak dapat disebut sebagai keturunan Nabi Muhammad, mengingat kebiasaan bangsa Arab sebagai penganut sistem Patrilinial. Ditambah lagi, kalau pun benar mereka bisa disebut keturunan Nabi Muhammad, bagi Al Irsyad tidak ada satu pun aturan dalam Islam yang memberikan kedudukan istimewa kepada para keturunan Nabi Muhammad tersebut. Dalam sebuah tulisan berjudul Titel Sajid Djadi Oeroesan (1932: 7-8), Al Irsyad mengkritik perlakuan para Sayid terhadap masyarakat pribumi.
Cobalah dengarkan di kampung-kampung, bagaimana anak-anak Ba’alawi itu yang masih kecil-kecil sudah pandai membesarkan diri kepada orang-orang kampung. Coba dengarkan bagaimana mereka dalam bermain-main dengan anak orang kampung menceritakan kesaktian mereka sebagai “cucu Nabi”, dan mengancam akan membacakan “Kulhu”, sebab kalau dibacakan “Kulhu” oleh “cucu Nabi”, orang akan menjadi pohon kelapa atau binatang atau apa saja yang diminta oleh “cucu Nabi” itu. Cobalah perhatikan, bagaimana di kampung-kampung anak-anak tuan Sayid yang dianggap orang keramat atau setengah keramat, pergi meminta uang kepada orang-orang kampung itu, yang hidup miskin dan sengsara. Mereka tidak berani menampik permintaan tuan Sayid atau tuan Saripah itu karena takut “ketulahan”, “takut durhaka” kepada “cucu Nabi” itu. Lagi pula ada kepercayaan kalau memberi kepada “orang keramat” ada berkatnya. Nanti dapat untung berlipat ganda dari pemberian itu.
Sementara itu, dari pihak Jamiatul Khair menyarankan kepada pemerintah kolonial untuk mengambil tindakan terhadap orang-orang Al Irsyad yang mereka tuduh sebagai penganut Komunisme dan pengikut Bolshevic. Para Sayid yang pada saat itu memiliki jaringan luas dari Hindia Belanda, Singapura, India, hingga Timur Tengah (Hadramaut), menggunakan koneksi ini untuk menghambat pergerakan anggota Al-Irsyad.
Seorang Sayid terkemuka bernama Ali bin Ahmad bin Shahab (1870-1944) membujuk pemerintah kolonial Inggris di Singapura untuk menghadang perjalanan anggota Al-Irsyad yang berlayar hendak berziarah ke Hadramaut (Ulrike Freitag and William G. Clarence-Smith. Hadhrami Traders, Scholars and Statesmen in the Indian Ocean, 1750s to 1960s, 1927: 125).
Seorang tokoh Pergerakan Nasional asal Minangkabau, Haji Agus Salim, turut berkomentar terkait polemik ini, seraya membela Al Irsyad. Dalam harian Mustika (diterbitkan oleh percetakan Muslim Indonesia, di bawah pimpinan redaksi Haji Agus Salim), edisi 17 Juli 1931 berpendapat:
“Perselisihan antara Al Irsyad dengan Ba’alawi adalah boleh diumpamakan sebagai peperangan antara aristokrasi dan demokrasi. Haluan yang dikemukakan oleh Al Irsyad adalah yang cocok betul dengan Islam, kemauan natuur dan perubahan zaman. Semangat demokrasi inilah yang menjadi satu di antara sebab-sebab yang terutama kenapa agama Islam menjadi banyak tersiar di seluruh dunia ini. Maka orang-orang yang menghalang-halangi roh dan semangat ini, adalah orang-orang yang menghalangi kemajuan.”
Agung Purnama, pengurus Lakpesdam NU Jawa Barat dan dosen tetap Jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung.