RENUNGAN KEMERDEKAAN TERKAIT POLEMIK NASAB
Pengantar.
Dalam dunia persilatan nasab, saya ada dalam posisi yang tidak begitu ruwet, sangat tipis saja bersentuhan dengan dunia mereka yang disebut habib. Berbeda dengan mereka yang beririsan tebal dan dalam dengan para habib. Entah sebagai kawan, guru dan seterusnya.
Bagaimana menempatkan posisi diri, bagaimana cara pandang dan memposisikan habaib setelah diguncang tesis Kiai Imad dkk dari berbagai sisi keilmuan ?
Salah seorang yang menurut saya mampu mengarungi dua gelombang yang bertentangan itu adalah ajengan Widodo Abidarda. Pak Dosen menulis artikel polemik yang muncul dalam dirinya akibat masalah nasab ini dan menawarkan solusi moderatnya.
Selamat menikmati tulisan sehat dan segar ini. Haturnuhun, baktos, Dindin Nugraha.
Dodo Widarda* – 17 Agustus tahun 2024 ini kita memasuki usia kemerdekaan yang ke-79. Amanah keindonesiaan yang spiritnya dirasakan seluruh komponen anak bangsa baik pra maupun pasca kemerdekaan, patut kita syukuri dan kita estafetkan dari generasi ke generasi. Di antara bangsa-bangsa di dunia, bangsa Indonesia adalah satuan kolektif masyarakat yang telah memperjuangkan kemerdekaannya dengan susah payah, bersimbah darah dan air mata, dan sama sekali bukan hadiah dari ‘penjajah’. Bahkan setelah proklamasi dibacakan, agen-agen kolonial tetap merongrong kemerdekaan hingga terjadi Palagan Surabaya, 10 November 1945. Rongrongan itu tetap terjadi setelah Hari Pahlawan itu.
Ketika kemerdekaan telah tercapai dengan rentang usia 79 tahun, tidak dengan sendirinya masalah kebangsaan ini menjadi tamat. Selalu ada masalah yang harus dihadapi berbagai elemen bangsa. Selalu ada PR yang harus diselesaikan dengan tekun serta sungguh-sungguh. Selalu ada indikator-indikator dialektis yang harus dihadapi berdasarkan kematangan rasionalitas, jawaban-jawaban yang terukur, berdiri tegak di atas bangunan logika berpikir yang benar serta ‘semakin’ menunjukkan kedewasaan kita sebagai bangsa.
Salah satu masalah yang terjadi pada peringatan kemerdekaan sekarang adalah ‘polemik nasab’. Dalam konteks kebangsaan polemik ini menjadi salah satu sumber masalah , pertama, adanya ada klaim-klaim sejarah yang dilakukan oleh kaum Ba’alawi karena ada habaib dari kalangan mereka menyampaikan, misalnya saja pernyataan bahwa kemerdekaan bisa dicapai karena jasa mereka terkait proklamasi yang dibacakan Soekarno-Hatta. Atau Pahlawan Nasional Imam Bonjol memiliki nama Al-Habib Muhammad Sehabuddin. Klaim-klaim seperti itu, berdasarkan berbagai dokumen sejarah yang ada seperti diungkap sejarawan Prof. Anhar Gonggong, dan juga catatan kritis Prof. Mahfudz M.D. tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dan dalam bahasa Menachen Ali, bersifat internal serta tidak didukung oleh sumber-sumber eksternal. Kedua, pengaburan sejarah dengan menempatkan superioritas klan tertentu, sangat menciderai ‘kebhinekaan’ kita sebagai bangsa.
Penulis pastikan, ada di antara habaib mereka yang benar-benar gigih dalam proses perjuangan kemerdekaan, seperti juga ada di antara mereka yang menjadi pengkhianat bangsa serta memberikan legitimasi bagi kekuasaan kaum kolonial di Bumi Pertiwi.
Dengan membuat tulisan ini, tidak ada setitikpun dalam hati saya ‘kebencian’ terhadap habaib. Dalam hal ini, sikap saya sama dengan KH. Ulil Abshar Abdalla dari PBNU. Saya bersikap moderat saja.
Lingkungan saya begitu tahu, betapa saya mencintai dan menghormati dzuriat Nabi Saw. Tapi sikap tidak mengabaikan dimensi kritis. Yang dikembangkan adalah ‘paradigma cinta’ sebagai muhibbin, tapi tetap mempertahankan sikap kritis, tidak terjebak fanatisme buta yang membunuh potensi berpikir serta terhipnotis dengan doktrin-doktrin yang melenceng dari garis Alquran dan Sunnah Nabi. Juga menghindari logical palaccies (kesalahan berpikir logis) dengan mengabaikan peran serta kontribusi meraka bagi bangsa dan negara. Bagi saya itu adalah bagian dari ‘hifdzul aql’ (menjaga rasionalitas) dalam maqâshidus syarî’ah.
Falsifikasi ala KH. Imaduddin al-Bantani
Di dalam menyikapi ‘polemik nasab’ ini, di sini saya akan mempergunakan pendekatan Filsafat Ilmu. Sejak kedatangan imigran-imigran Yaman mulai abad ke-18, posisi mereka sebagai habaib dzuriat Nabi adalah sesuatu yang nyaris tanpa bantahan, kedudukan mereka sebagai dzuriat Nabi ini sudah sudah bertahan selama ratusan tahun, sampai datang ‘falsifikasi’ atau ‘penyangkalan’ ala KH.Imaduddin al-Bantani yang mengkritisi Nasab Bani ‘Alawi (Ba’alawi) mereka. Falsifikasi sebagaimana yang dimaksud oleh Karl Raimund Popper (1902-1994) untuk menentukan kadar kebenaran sebuah kerangka teori. Tentu dengan pemikiran bahwa apa-apa yang ada dalam kesadaran kolektif Ba’alawi, bertitik tolak dari acuan tradisi keilmuan yang ada pada mereka. Dalam teorinya Popper seperti dalam bukunya “The Open Society and It Enemies” (1945) menyatakan bahwa kebenaran suatu ilmu bukan ditentukan melalui pembenaran (verifikasi), melainkan melalui upaya penyangkalan terhadap proposisi yang dibangun oleh ilmu itu sendiri (falsifikasi).
Melalui penerapan teori falsifikasi Popper, saya memaksudkan tulisan ini adalah sebagai pendekatan akademik terhadap polemik nasab ini. Falsifikasi dapat digunakan untuk mengetahui kadar keilmiahan sesuatu serta dapat menyangkal teori-teori lain yang tidak relevan.
KH. Imaduddin al-Bantani adalah tokoh ‘revolusi pemikiran’ dengan taji luar biasa untuk melakukan falsifikasi terhadap kebenaran dengan asumsi paradigmatik serta landasan epistemik yang mendasari dinamika sosio-religius Kaum Ba’alawi. Roda sejarah yang akan membuktikan sejauh mana falsifikasi itu bisa ajeg berdiri, karena hukumnya seperti itu, jika falsifikasi itu terbantah dengan bukti-bukti ilmiah yang dapat menggugurkannya, konsekuensinya malah asumsi-asumsi Kaum Ba’alawi itu yang akan tetap bertahan di altar sejarah. Tentu kita tidak mesti terjebak sikap emosional, tetap berpikir serta bersikap rasional untuk menyaksikan bagaimana sejarah itu akan bergulir di masa depan.
Terkait keberanian KH. Imad, saya menghaturkan tabik penghormatan yang sangat tinggi. Mungkin benar apa yang disampaikan Syekh Sidi Rohimuddin Nawawi al-Bantani dalam obrolan kami di Ampang Kuala Lumpur, Malaysia, 28 Agustus 2023.
Ketika yang terkena sentil Nasab Wali Songo itu orang Banten yang terkenal dengan keberaniannya, maka yang muncul adalah—seperti dalam bahasa Popper sekali lagi, falsifikasi gaya KH. Imaduddin al-Bantani.
Selama ini muncul istilah ‘tesis’ KH. Imad yang memberi catatan kritis serta membantah klaim-klaim Ba’alawi. Bagi penulis istilah tesis ini kurang tepat, karena kalau mengikuti alur berpikir Hegelian, yang dilakukan KH. Imaduddin itu adalah ‘anti-tesis’ terhadap ungkapan yang disampaikan Habib Bahar bin Smith (HBS) yang telah mengungkapkan terputusnya nasab dzuriat Wali Songo.
Lengkapnya ungkapan HBS, seperti penulis ketik ulang dari YouTube,”Banyaknya orang sekarang mengaku cucu Wali Songo. Bahwasannya tidak ada anak cucu Wali Songo. Orang yang sekarang ngakunya cucu Wali Songo tidak ada. Sekalipun ada dari pihak ibu, bukan dari pihak Abah. Kalau dari pihak ibu terputus. Wali Songonya habaib. Menurut para ahli nasab, hampir lima puluh tahun generasinya lenyap.”
Sebagai seseorang yang memiliki kesadaran sejarah tentang betapa besarnya peran Wali Songo dalam peran serta kontribusinya untuk syi’ar agama serta sejarah bangsa, saya tentu tidak merasa nyaman dengan ucapan yang tidak berdasarkan fakta ini. Kenyataannya putra Sunan Ampel adalah Sunan Bonang serta Sunan Drajat. Salah satu putra dari Sunan Gunung Jati adalah Maulana Hasanuddin. Pasti ahli nasab yang berani ‘memelintir’ sejarah saja, yang akan mengambil kesimpulan bahwa dzuriat Wali Songo itu terputus karena nasabnya dari perempuan.
Saya selama ini, dari guru-guru diajari bukan hanya untuk mencintai habaib dzuriat Rasul, tetapi juga para Wali Songo, nyata leluhur dari trah Wangsa Nusantara ini.
Sejarah sekali lagi yang akan membuktikan, apakah falsifikasi KH. Imaduddin akan bertahan sebagaimana dalam Revolusi Sains pada abad ke-17? Tokoh-tokoh yang terkenal dengan model ‘citical thinking’ seperti Galileo Galilei serta Nicolas Copernicus berhasil melakukan falsifikasi terhadap ‘teori geosentris’ (bumi sebagai pusat sistem tata-surya) sejak masa Aristoteles serta Ptolomeous dan menggantinya dengan ‘teori heliosentris’ (matahari sebagai pusat sistem tata-surya), dan sampai sekarang teori itu masih ajeg berdiri, sebelum ada teori yang meruntuhkannya. Selain KH. Imaduddin, tokoh-tokoh revolusi pemikiran ini Gus Abbas Buntet, Gus Fuad Plered, Gus Islah Bahrawi yang revolusinya dikuatkan oleh model pendekatan filologi Menachen Ali, yang meneliti keabsahan klaim Ubaidillah sebagai leluhur klan Ba’alawi. Dari sisi tasawuf, Revolusi Pemikiran dari KH. Imad CS ini tidak lebih kecil dari Revolusi Sains yang dilakukan Galileo serta Copernicus karena merupakan pencarian landasan ontis, epistemis, serta aksiologis demi keotentikan dzuriat Nabi, yang lahir dan batinnya merupakan cahaya dari semesta ini.
Kritik Soekarno Terhadap “Hadramautisme”
Sampai kita merayakan kemerdekaan yang ke-59, kita baru paham terhadap kritik Proklamator Bangsa Soekarno terhadap “Hadramautisme”, walaupun kita tetap hati-hati menyikapinya. Kritik Bung Karno ini tetap penting karena seperti menurut guru penulis, KH. Zamzami Amin dari Pondok Pesantren Mu’allimin Mu’allimat Babakan Ciwaringin Cirebon, sebagai seorang pejuang kemerdekaan bangsa, Bung Karno pasti membuat pemetaan tentang siapa kawan serta siapa lawan dalam berjuang. Di dalam pembedahan anatonomi masyarakat kolonial, bahwa ada imigran Hadramaut yang menjadi kawannya dalam berjuang, dan ada yang menjadi pengkhianat, serta lebih berpihak pada kepentingan kuasa kolonial.
Ada AR Baswedan dari kalangan Hadrami yang progresif serta pada tahun 1934 mendirikan Partai Arab Indonesia, serta kemudian diangkat jadi Pahlawan Nasional.
Terinspirasi Sumpah Pemuda tahun 1928, pada tahun 1934 AR Baswedan juga memelopori Sumpah Pemuda bagi keturunan Arab di Indonesia. Namun disamping AR Baswedan ada Habib Usman bin Yahya (1822-1913), yang karena dedikasinya pada pemerintah kolonial serta doanya untuk kelanggengan kekuasaan Ratu Minhelmina di Hindia Belanda (1898), mendapatan kehormatan ‘Bintang Salib’ dari Pemerintah Belanda. Dialah ulama—dalam posisi sebagai Mufti Batavia—yang telah memberi fatwa ‘ghurur’ terhadap pihak-pihak yang terlibat Geger Cilegon (1988) dalam kepemimpinan ulama tarekat Syekh Abdul Karim Banten yang kharismatik. Serta juga ada Abdurrahman az-Zahir sebagai Mangkubumi Aceh yang telah mengkhianati pejuang-pejuang Tanah Rencong dengan berpihak pada Belanda.
Kritik Bung Karno sendiri terhadap “Hadramautisme” terdapat di dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi” terkait suratnya kepada A. Hasan, pendiri Persatuan Islam pada tahun 1933. Bung Karno dalam posisi sebagai seorang politiasi ulung, tentu memahami betul ada pihak-pihak yang bisa berjalan bersama sebagai pejuang bangsa. Ada orang-orang yang berbeda dengan prinsip keras perjuangan hidupnya. Keduanya penting diposisikan secara tepat, karena kalau tidak membuat garis demarkasi seperti itu, pastilah dia bukan seseorang yang berbakat masuk dunia politik. Fakta sejarah itu, apakah tentang baik dan buruk, atau benar dan salah tergantung pada subyek yang memberi makna. Bagi Belanda, Habib Usman bin Yahya adalah ‘pahlawan’ yang berjasa besar terhadap tegaknya bangunan kolonialisme mereka. Bagi pejuang seperti Soekarno ia adalah musuh yang harus dilawan serta dijauhi. Sebaliknya, Syekh Abdul Karim Banten bagi Belanda adalah ‘pemberontak’ pembuat onar. Tapi bagi kaum pribumi, terlebih di Banten, dia adalah pejuang walaupun tidak dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional.
79 tahun setelah merdeka, apa yang dikritisi oleh pihak-pihak yang melakukan refleksi ketika kecenderungan kehidupan agama, disempitkan pada superioritas klan tertentu. Kalaupun di antara mereka ada yang benar-benar tulus ikhlas berjuang demi tegaknya republik ini, ia hanya satu elemen di antara elemen-elemen lain yang sangat beragam. Refleksi kritis itu tidak berarti menyebarkan kebencian terhadap para habib. Terlebih lagi jika mereka itu benar-benar dzuriat Rasul. Falsifikasi itu adalah sebuah fundamen kritik kepada sesuatu yang dianggap berlebihan dalam beragama. Kita sekarang hidup pada zaman teknologi ketika pikiran manusia lewat ucapan lidahnya, bisa terekam dengan baik dan proliferasinya didukung media audio-visual seperti YouTube, sehingga ucapan-ucapan serta sikap yang dipandang berlebihan dalam agama itu, telah diketahui oleh publik secara luas. Kritik Soekarno bisa kita pahami secara lebih jelas dalam konteks kehidupan masyarakat kontemporer ketika ada yang merasa berhak lebih tinggi dari sisi prestise spiritual serta sosial, dibanding dengan masyarakat pribumi sendiri. Walaupun kita menilai secara obyektif, jernih, serta jujur masih banyak habib-habib yang rendah hati serta berilmu tinggi seperti Habib Quraisy Syihab, Habib Alwi Syihab serta Habib Umar al-Hafiz, yang mereka dihormati bukan karena klaim mereka sebagai dzuriat Rasul. Tapi karena karena ketinggian ilmu, akhlak, ketauladanan serta karyanya, mereka buktikan terhadap umat.
Penutup
Tulisan refleksi kemerdekaan ini akan saya tutup dengan kutipan ayat yang disampaikan guru penulis, KH. Zamzami Amin dalam sebuah halaqah: “Dan sungguh telah kami muliakan anak cucu Adam” seperti terdapat dalam Q.S. al-Isra:70. Allah saja telah memuliakan anak cucu Adam, dan itu tersurat secara eksplisit dalam Alquran, bagaimanakah mungkin satu kaum bisa merasa lebih tinggi dari kaum yang lain? Menurut kiai dzuriat Wali Songo yang sangat progresif ini, bukti bahwa Allah memuliakan keturunan Nabi Adam as, ketika meninggal, secara fiqh, mayatnya tidak menjadi najis, dan itu berlaku secara universal untuk semua manusia. Ahlul Bait atau bukan Ahlul Bait Nabi. Muslim atau non muslim, semua berada dalam posisi mulia sebagai sama-sama keturunan Nabi Adam as. Itulah corak emansipatif ajaran Islam. Bukan hanya keturunan Nabi Saw yang harus kita muliakan, tapi juga seluruh umat manusia.
Harapan penulis, adanya ‘geger’ masalah nasab ini, dalam konteks kebangsaan adalah sebuah ‘dialektika sejarah’ untuk menemukan unsur hakiki di alam kemerdekaan. Kita buang bersama kerikil-kerikil tajam ketika akan melangkah sebagai sesama anak bangsa. Sikap-sikap ‘berlebihan’ kita buang saja ke pojok sejarah, karena perjuangan terberat kita adalah jihad melawan hawa nafsu sendiri sebagaimana diisyaratkan Baginda Nabi.