Sumodiningrat adalah Sumodiningrat, bukan Habib Hasan bin Yahya
M. Yaser Arafat – Dalam beberapa tahun terakhir, sejarah dan makam Kanjeng Raden Tumenggung Sumodiningrat sedang mengalami tiga guncangan historis. Tiba-tiba ada klaim sejarah yang memungkiri catatan-catatan, data-data primer, serta kajian-kajian ilmiah yang sahih. Tidak hanya itu, klaim tersebut juga mengingkari data valid yang tersimpan di Keraton Yogyakarta. Apa bentuk tiga guncangan historis berupa klaim tidak berdasar itu?
Pertama, jati diri dan identitas Sumodiningrat diklaim oleh Majelis Taklim Darul Hasyimi (MTDH) sebagai Habib Hasan bin Thoha bin Yahya (selanjutnya disebut Hasan bin Yahya). Padahal, telah masyhur di dalam sejarah Keraton Yogyakarta bahwa Sumodiningrat bukanlah Hasan bin Yahya. Secara khusus, saya telah membantah klaim ini melalui makalah berjudul “Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumadiningrat bukan Habib Hasan bin Thoha bin Yahya: Analisis Kritis di Balik Kesalahpahaman Sejarah” yang dimuat di jurnal Warisan (Vol. 4, Issue 2, Agustus 2023).
Silsilah Sumodiningrat yang saya beberkan dalam makalah, yang bersumber pada salah satu buku induk pernasaban keluarga besar trah Keraton Yogyakarta, dapat dicermati dan dijadikan panduan untuk menandaskan bahwa sosok ini bukan Hasan bin Yahya. Silsilah ini juga tercantum dalam Serat Kekancingan—dikeluarkan secara resmi oleh Keraton Yogyakarta—yang diberikan kepada keturunan orang-orang yang namanya termaktub di dalamnya, termasuk keturunan Sumodiningrat. Dari sana dapat dibuktikan bahwa Sumodiningrat, menantu Hamengkubuwono II itu, adalah keturunan orang Jawa, keturunan para sesepuh pendiri Kerajaan Mataram Islam.
Kedua, makam Sumodiningrat oleh MTDH dikatakan berada di Lamper Kidul, Semarang, Jawa Tengah. Padahal, dalam catatan resmi Keraton Yogyakarta, makam Sumodiningrat berada di Jejeran, Wonokromo, Plered, Bantul, Yogyakarta. Tepatnya di sisi barat Masjid Mi’rajul Muttaqinallah. Kompleks ini merupakan permakaman keturunan Kiai Kriyan (Kiai Ageng Wonokriyo) dan Sumodiningrat adalah trah Kiai Kriyan. Makalah saya dapat dipelajari untuk menunjukkan betapa rapuhnya klaim makam oleh MTDH itu.
Ketiga, dan ini juga yang mesti diluruskan, makam Sumodiningrat di Jejeran malah diklaim MTDH sebagai makam Habib Ahmad bin Thoha bin Yahya (selanjutnya disebut Ahmad bin Yahya), adik Hasan bin Yahya. Berdasarkan keterangan keturunan Sumodiningrat, ketika menziarahi makam di Jejeran itu, mereka bertemu para peziarah lain yang menyebutnya sebagai makam Ahmad bin Yahya. Beberapa pemuka kampung di sana juga mendukung klaim MTDH meskipun jelas bahwa klaim itu tidak berdasar sama sekali.
Bagaimana ceritanya hingga makam Sumodiningrat di Jejeran bisa sampai diklaim sebagai makam Ahmad bin Yahya? Dan mengapa klaim itu tidak benar?
Hanya untuk Keturunan Kiai Kriyan
Di dalam makalah, saya mengutip sumber primer dari Keraton Yogyakarta yang mencatat bahwa jenazah Sumodiningrat dikuburkan di Jejeran. Silsilah Sumodiningrat juga saya babarkan secara gamblang berbasis sebuah manuskrip yang tersimpan di Keraton Yogyakarta, yakni Babad Sepehi.
Ahmad bin Yahya “bukan siapa-siapa” di makam Jejeran alias tidak memiliki ketersambungan nasab dengan Kiai Kriyan selaku tokoh punjer atau leluhur kaum muslimin yang dimakamkan di sana. Paugeran atau aturan baku permakaman sepuh dalam kebudayaan Jawa Islam adalah anak-keturunan seorang tokoh akan dimakamkan bersama leluhur dan saudara-saudara mereka, kecuali terjadi keadaan tertentu yang menghalangi pelaksanaan paugeran itu. Dari sisi ini, jelas sangat tidak mungkin ada orang yang “bukan siapa-siapa” namun dimakamkan di sana.
Disampaikan Satu Orang, tapi Saling Bertentangan
Keterangan yang menyebutkan bahwa makam Sumodiningrat di Jejeran adalah makam Ahmad bin Yahya dapat dilacak melalui dua pembacaan manaqib pada acara haul Hasan bin Yahya. Pembacaan manaqib Hasan bin Yahya yang disampaikan pada dua haul tersebut dilakukan oleh orang yang sama, yaitu Sulistyo Eko Cahyono. Perlu diperhatikan bahwa Hasan bin Yahya yang disebut dalam manaqib diklaim sebagai Sumodiningrat, sehingga dapat disimpulkan cerita dalam manaqib ini tidak sahih meskipun latar kisahnya adalah Yogyakarta. Mari kita cermati.
Disebutkan bahwa makam Sumodiningrat di Jejeran adalah makam Ahmad bin Yahya. Penyebutan ini terjadi dalam pembacaan Manaqib Habib Hasan bin Thoha bin Yahya pada acara “Peringatan Maulid Nabi dan Haul KRT Sumodiningrat (Habib Hasan) bersama Habib Luthfi bin Yahya”, 18 Desember 2021. Acara ini ditayangkan secara langsung oleh akun YouTube MT Darul Hasyimi Yogyakarta (simak pada menit 2:29:00 sampai 2:57:20).
Disebutkan pada menit 2:42:13 bahwa telah terjadi penyerangan oleh legiun Inggris yang bertujuan untuk mencari Hasan bin Yahya. Kediamannya di Jejeran didatangi. Pada saat itu, Hasan bin Yahya sedang melakukan koordinasi di ndalem Keraton Yogyakarta. Di menit 2:43:20, dikatakan bahwa Ahmad bin Yahya yang tinggal di Suronatan tengah berada di Jejeran ketika legiun Inggris datang. Mereka mengepung rumah Hasan bin Yahya. Ahmad bin Yahya lalu mengaku sebagai Hasan bin Yahya kepada Inggris. Alasannya karena keraton masih memerlukan strategi dari Hasan bin Yahya sekaligus kekesatriaannya.
Pada menit 2:45:00, dikatakan bahwa keluarga Hasan bin Yahya (termasuk Ahmad bin Yahya dan putra-putrinya) ditahan dan meninggal, lalu dimakamkan di Jejeran. Ahmad bin Yahya tetap mengaku sebagai Hasan bin Yahya hingga kematiannya. Dikisahkan pula bahwa peristiwa itu terjadi pada 1812 (menit 2:45:53).
Ternyata, Sulistyo menyampaikan riwayat yang berbeda di acara haul Hasan bin Yahya lainnya sebagaimana diunggah akun YouTube Jati Sumo Negoro dengan judul “SINGOBARONG!! INILAH MANAQIB HABIB HASAN BIN THOHA BIN YAHYA YANG JARANG DIKETAHUI”.
Pada menit 13:50-18:35, dikatakan bahwa Ahmad bin Yahya meninggal akibat dibunuh tentara Inggris pada Juni 1811. Berikut kutipan langsungnya:
“Karena kejadian itu untuk meyakinkan kebenaran sosok Habib Hasan, pihak Inggris kemudian menyandera keluarga Habib Ahmad. Namun, meskipun para putra dan istri beliau sampai wafat, Habib Ahmad tetap mempertahankan pengakuannya bahwa beliau adalah KRT Sumodiningrat. Peristiwa ini terjadi pada bulan Juni tahun 1811 sebelum terjadinya Geger Sepehi di Yogyakarta. Dengan adanya kejadian itu maka pencarian terhadap Habib Hasan oleh Inggris sedikit kendor. Dan akhirnya dengan berbagai pertimbangan Habib Ahmad dimakamkan di Jejeran dan tetap dikenal sebagai Sumodiningrat.”
Tampak jelas, di satu acara haul, Sulistyo menyebut Ahmad bin Yahya meninggal pada 1812. Sedangkan di haul yang lain, ia menyebut Ahmad bin Yahya meninggal pada 1811.
Bila dikatakan bahwa Ahmad bin Yahya meninggal pada 1812, jelas itu tidak sahih. Dalam Babad Sepehi dan Babad Panular, tidak ada sosok bernama Ahmad bin Yahya. Orang yang meninggal melawan pasukan Inggris antara 18-20 Juni 1812 adalah Sumodiningrat. Lalu, apakah sosok yang disebut sebagai adik Hasan bin Yahya itu memang benar-benar meninggal pada 1811?
Riwayat bahwa Ahmad bin Yahya meninggal pada 1811 bertentangan dengan sejarah. Dalam Inggris di Jawa, 1811-1816 (2017: 47), sejarawan Peter Carey menyebut ekspedisi tentara Inggris-India baru mendarat di Cilincing pada 3 Agustus 1811. Bila dikatakan bahwa Ahmad bin Yahya meninggal akibat diserang tentara Inggris pada Juni 1811, tentu saja tidak mungkin. Inggris baru mendarat di Pulau Jawa pada Agustus 1811. Antara Juni ke Agustus ada selisih dua bulan.
Pada 11 Juni 1811, ekspedisi pasukan Inggris ke Jawa yang meliputi 9.000 pasukan India-Inggris, 57 kapal angkut, dan 34 kapal tempur baru berlayar dari Malaka. Jadi bagaimana mungkin ada orang yang disebut dibunuh tentara Inggris pada Juni 1811 sedangkan mereka baru menginjakkan kaki di Pulau Jawa pada Agustus 1811?
Dari ulasan ini, menjadi jelas bahwa makam yang berada di Jejeran memang makam Sumodiningrat, bukan makam Ahmad bin Yahya. Telah terkuatkan pula bukti-bukti sahih berdasarkan sumber primer dari Keraton Yogyakarta bahwa Sumodiningrat bukanlah Hasan bin Yahya dan bukan pula Ahmad bin Yahya.
Sumodiningrat adalah tokoh penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Ia terlibat dalam Perang Sepehi, sebuah peristiwa yang terjadi akibat situasi internasional. Perang Napoleon (1803-1815) yang meletus di Eropa memengaruhi perkembangan politik dunia, termasuk pasang-surut hubungan Inggris dan Belanda. Ini kemudian berimbas kepada politik kolonialisasi di Jawa. Dari sisi inilah, sejarah Sumodiningrat penting diperhatikan rakyat Indonesia.
Selain itu, klaim Sumodiningrat adalah Hasan bin Yahya dan klaim makam Sumodiningrat di Jejeran adalah makam Ahmad bin Yahya telah menyebar ke mana-mana, terutama di media-media sosial. Jika klaim ini tidak diluruskan, anak-cucu kita akan buta terhadap sejarah dan peradaban mereka sendiri. Sejarah adalah sejarah. Klaim adalah klaim. Sejarah harus ditempatkan pada tempatnya, sebagaimana klaim harus dibuang pada tempatnya. Dalam khazanah pesantren, menempatkan sesuatu pada tempatnya adalah keadilan.
Lalu, siapakah sebenarnya Sumodiningrat? Perihal ini akan saya terangkan dalam artikel berikutnya.
M. Yaser Arafat, peneliti makam-makam kuno dan kebudayaan Jawa; dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor: Ivan Aulia Ahsan